Achmad Mardiansyah's Journal

Manage your knowledge by writing it

Dosen Killer-kah saya?

with 13 comments

lagi iseng browsing internet, trus nemu forum diskusi di kaskus yang lagi rame. sebenernya telat juga sih karena tulisan aslinya udah diposting beberapa bulan lalu.
link aslinya ada disini.

———————————–

Saya sudah mengajar di Binus sejak tahun 1988. Waktu itu Ibu Th Widia sendiri yang meminta saya untuk membimbing mahasiswa yang akan ikut ujian negara (termasuk saya). Waktu yang diberikan hanya dua bulan sampai hari ujian. Pelajaran yang saya harus ajarkan adalah bahasa pemrograman dBase II dan Lotus Makro. Setelah banyak pertimbangan akhirnya saya memenuhi permintaan Ibu Widya. Hasil dari bimbingan saya waktu itu lulus 100%.

Selanjutnya, Ibu Widia kemudian menunjuk saya untuk menjadi dosen yang mengajar matakuliah tersebut untuk STMIK Bina Nusantara disamping pelajaran lainnya di jurusan SI. Bulan berlalu, tahun juga berganti. Demikian pula STMIK bertambah maju dan besar. Tapi cara ngajar saya dari tahun ke tahun tetap saya pertahankan guna menjaga mutu. Itu saya lakukan karena almamater saya, Saya sudah menganggap Binus sebagai bagian dari hidup saya. Saya rela tidak mengejar posisi dan jabatan dan tetap sibuk mengajar, demi mengharapkan segelintir mahasiswa yang saya ajar bisa membuktikan diri mereka di masyarakat agar nama Binus tetap harum karena kualitas yang baik.

Tapi cara saya mengajar seperti mulai terusik setelah Ibu menderita sakit dan wafat. Semua mulai berubah. Banyak aturan yang muncul…contoh : Dosen yang banyak tidak meluluskan mahasiswa ditegur, waktu untuk periksa ujian diperpendek, menggerakkan dosen untuk memberi nilai tulis walaupun jawaban mahasiswa salah, menekan dosen dengan mengatakan “Kalau banyak mahasiswa yang tidak lulus, mungkin saja dosennya yang tidak mampu”, dan berbagai kegiatan lainnya yang akhirnya menjadikan para dosen menjadi “BERBAIK HATI” untuk memberikan nilai lulus pada mahasiswa walaupun mahasiswa tersebut tidak mampu sama sekali untuk pelajaran tersebut.

Semua yang saya katakan itu benar adanya dan itu sudah bukan rahasia lagi. Tapi karena mahasiswa diuntungkan dan dosen merasa tidak rugi kalau melakukan hal seperti itu, maka dari luar semua tampaknya ok saja. Memang, cara itu adalah cara yang paling jitu untuk mengakali pendidikan, sebab mahasiswa lulus sesuai nitanya masuk ke Binus, bagi dosen juga tidak ditegur oleh Kajur dan posisinya mengajar akan selalu aman karena disukai oleh Kajur.

Tapi lihatlah prestasi anak Binus di dalam masyarakat, kebanyakan dari mereka cuma jadi sales atau marketing. Kalaupun ada job expo, lowongan yang terbesar terisi cuma marketing, management training atau sales. Kasihan sekali……..

Susah-susah sekolah, ayah ibu banting tulang menghemat penghasilan, hasilnya anaknya lulus , tapi cuma untuk jadi sales atau marketing saja……posisi pekerja yang tidak memerlukan IT….. Terus terang saja, saya tidak tega untuk memberikan mahasiswa angka lulus kalau mereka sebenarnya tidak menguasai pelajaran tersebut. Sebab saya merasa saya berdosa karena saya berbohong. saya berbohong pada mahasiswa, berbohong pada orang tua mereka (tidak bisa diberi nilai lulus), berbohong pada masyarakat dan yang terpenting berbohong pada almamater sendiri dengan menghasilkan mahasiswa yang sebenarnya tidak mempunyai kemampuan tersebut. Malu saya…malu….

Oleh sebab itu, dalam penilaian saya sangat ketat, tapi saya tidak pernah mengurangi nilai yang seharusnya diperoleh mahasiswa. saya menilai ujian sesuai porsi nilai yang ditetapkan, cuma tidak pernah ada nilai tulis dan nilai untuk mengkatrol nilai agar mahasiswa yang lulus jadi banyak. Hal ini saya lakukan karena saya menempatkan posisi saya sebagai seorang ayah. Kalau saya orang ayah, tidak mungkin saya mau memasukkan anak saya ke sekolahan / universitas yang hanya memberikan stempel lulus tapi tidak bisa menjamin anak saya memperoleh ilmu yang diajarkan. Buat apa saya membayar sejumlah uang tapi anak saya tidak bisa apa2x, cuma bisa ngakali orang tuanya (Lulus tanpa mutu).

Saya juga tidak ingin kejadian kasus Prita terulang di dunia IT. Sebab kalau hal itu terulang, Binus yang menjadi almamater saya akan terkubur selamanya.

Hal yang juga mendorong saya demikian adalah karena saya mendapatkan informasi dari teman-teman saya (ex STMIK Bina Nusantara) dan juga beberapa pimpinan perusahaan bahwa semakin hari, semakin sedikit mahasiswa Binus yang bisa lewati test yang dilakukan perusahaan.

Terus terang saja, memberikan nilai lulus pada mahasiswa itu sangat mudah. Seringkali mahasiswa sangat senang akan hal seperti ini. tapi tahukah bahwa sebenarnya dosen yang seperti itu justru membunuh mahasiswa itu sendiri. Sebab tidak mungkin mahasiswa itu bisa bekerja sesuai sertifikat pendidkan yang dimilikinya. Lalu, kalau memang mau kerja dibidang tersebut, mahasiswa tersebut juga tidak mungkin belajar kembali di S1 yang sudah dinyatakan lulus.

Dosen menilai mahasiswa paling lama satu sampai lima semester, tapi mahasiswa akan dimilai oleh masyarakat selama hidupnya. Jadi kalau ada pemberian nilai bagus untuk matakuliah yang memang tidak dikuasai, seharusnya mahasiswa menolak, karena itu sama saja membunuh masa depan mahasiswa.

Dalam benak saya tetap berpendapat, sekolah / universitas adalah tempat untuk menuntut ilmu. Selama masih tidak bisa, tidak perlu malu untuk terus menuntut ilmu. kalau tidak belum menguasai ilmu dan diberikan sertifikat lulus, itu sama saja kita diusir dari tempat belajar kita. Sayang uang pangkal yang sudah dibayarkan orang tua yang dicari dengan bercucuran keringat tapi tanpa hasil.

Nah, demikianlah dasar pemikiran saya dalam mengajar, terutama dalam memberi nilai. Kalau anda sudah baca yang saya tulis, masihkah saya anda anggap saya sebagai dosen killer? Ataukah anda akan mengatakan tindakan saya adalah benar? Silahkan saja…semua terserah anda. Yang pasti, saya selalu percaya semua di dunia ini akan seimbang….Apapun yang anda buat akan berbuah dikemudian hari….

Written by Achmad Mardiansyah

October 7th, 2010 at 11:43 am

13 Responses to 'Dosen Killer-kah saya?'

Subscribe to comments with RSS or TrackBack to 'Dosen Killer-kah saya?'.

  1. tampaknya anda seorang dosen yang idealis. tapi hidup ini tidak bisa dilihat dalam satu sisi. bila anda tidak meluluskan mahasiswa konsekuensinya lebih besar, anda telah menghambat jalan hidup orang lain. bila anda seorang dosen yang baik, maka anda akan meghormati mahasiswa anda. tidak hanya itu, anda juga harus menghormati orang tua peserta didik, masyarakat, dan juga institusi anda sendiri. Tugas dosen membuat muridnya dari bodoh menjadi pandai.bila dosen cuma bisa mengoblok-goblokan mahasiswanya, tentunya dosen itu tidak baik.

    h

    28 Jan 11 at 01:48

  2. halo h,
    dunia pendidikan memang harus idealis mas. kalo tidak idealis, gimana nanti kalo udah kerja?
    masih kuliah aja udah maen sogok, katrol, dll gimana nanti kalo jadi pejabat?
    kita perlu belajar dari negara lain bagaimana mereka bisa maju. pengalaman saya di UNSW, kalo failed, ya failed. harus ngulang.

    Achmad Mardiansyah

    28 Jan 11 at 06:12

  3. […] cari kerja pun akan susah karena industri ngak percaya lulusan perguruan tinggi (baca disini, disini, disini, disini), ujung2nya jelek untuk indonesia juga […]

  4. dari 3 kelas jarkom yang ane ajar … 40an mahasiswa mendapat nilai tidak memuaskan … ane ga bergeming, mereka belum layak lulus 😀

    hendito

    15 Feb 11 at 19:38

  5. Sory Pak,Sekarang Seles Marketing adalah Profesi menjajikan di banding Programer. Menurut saya cara pandang anda utuk profesi sangat sempit. Saya tidak setuju anda menghina profesi karena profesi apa aja adalah amanat.

    Suep

    26 Jul 11 at 20:35

  6. @suep: tanggapan saya
    – tulisan diatas bukan saya yang tulis, link asli berada pada awal artikel. namun saya setuju dengan penulis asli
    – tentang cara pandang saya tentang profesi coba baca tulisan saya di sini.
    – tentang pernyataan anda “Sales marketing adalah profesi yang lebih menjanjikan dibanding programmer”. bukankah dengan menulis ini anda juga menghina pekerjaan programmer? lagipula anda tidak memberikan referensi yang mendukung pernyataan anda, jadi pernyataan anda akan sulit diterima.
    – tentang issue lulusan informatika yang menjadi sales/marketing, berarti ini bisa sebagai cermin kita: jika memang tujuan akhir adalah menjadi sales/marketing, kenapa harus sekolah informatika? kan sayang waktu dan uangnya? atau bisa jadi para lulusan informatika tsb memang tidak mampu bersaing dengan lulusan informatika lainnya, dimana perlu ditanyakan kualitas pengajaran disana.

  7. […] dari perspektif industri. saya berdoa semoga tidak banyak dosen yang mengkatrol nilai seperti ini, dan bagi yang sering katrol nilai, saya berdoa semoga dibukakan hatinya untuk kembali ke jalan yang lurus. hehehe :-p. dari perspektif industri, jika berpikir jangka panjang, jika mereka menerima terus2an lulusan dengan IPK tinggi tapi ngak bisa apa2, maka kepercayaan industri terhadap institusi akan runtuh. percuma saja kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun oleh para alumni dengan susah payah, lalu hancur dalam sekejab oleh kelakuan dosen ini? seorang pengajar oei pek jin, juga berkomentar tentang mahasiswa LTM (Lulus tanpa mutu) disini. […]

  8. Hi, sy jg dosen binus.. tp selama sy mengajar kalau memang tidak lulus y tidak sy luluskan.. so far tdk ada complaint dari jurusan.. kalau satu kelas semua jelek/fail y bisa jadi sistem penyampaian materi yang “tidak cocok” antara dosen dan mahasiswa..

    semua dosen pasti ada beban moral dalam memberikan nilai, bukan asal2an saja.. itu dari sudut pandang sy y, krn sy jg orang yg cukup strict with rules and i’m an idealist..

    yunita

    19 Apr 15 at 18:19

  9. Salam Binusian,
    Saya juga dosen Binus, selama ini saya biasa tidak meluluskan mahasiswa. Tapi saya lihat rata-rata kelas, kalau sekelas memang agak payah daya tangkapnya, saya kasih tugas tambahan, dan saya termasuk pelit kasih nilai A. Pernah satu kelas tidak ada A, dan banyak yang tidak lulus, meski akibatnya IKADQ saya jeblok karena dikomplain mahasiswa, tapi saya tunjukan bukti bahwa mahasiswanya memang malas, tugas GSLC saja tidak pernah dikerjakan, mau bantu dengan cara apa

    DewAsmara

    22 Nov 16 at 15:10

  10. @yunita and @dewasmara: siip lah… mantab
    yang penting fair aja, tulis rule yang jelas di awal kuliah.

    Achmad Mardiansyah

    27 Nov 16 at 15:40

  11. Permisi pak, tahun ini saya akan masuk ke perguruan tinggi, nah kemaren saya sudah tes diBinus dan ternyata lulus di SI.nah, apakah kualitas SI binus termasuk yang terbaik di indo sekarang ?

    Id

    2 Apr 17 at 22:23

  12. @id: untuk membandingkan, sebaiknya menggunakan data yang valid. misal: data akreditasi (kementrian pendidikan), data kurikulum, silabus mata kuliah, dll

  13. Jujur aja..pd mulanya sy merasa tertarik dg judul anda dan kalimat2 anda di awal…namun smkn sy baca lg sy jd semakin kesal dan jengkel dg kata2 anda seolah merendahkan profesi SALES & MARKETING! Asal anda tahu…sblm sy berprofesi menjadi dosen arsitektur, sy adalah SALES/Marketing property..dan alhamdulilah sdh mnghasilkan ratusan juta (bkn brmksud sombong hny memberi fakta). Dan anda blh saja bilang begitu tp kenyataan dilapangan saat ini dg arus globalisasi perdagangan…semua profesi sy rasa WAJIB memiliki jiwa sales/marketing sbg modal mereka bertahan didunia kewirausahaan terutama..kecuali kl mereka sudah diarahkan untuk jadi pegawai/karyawan/PNS…sy pikir semua mindset dosen indonesia saat ini hrs lah byk menyemangati mahasiswa/i mereka untuk menjadi BOSS mengingat persaingan di dunia kerja saat ini tidak lg relevan,trims

    Retno wijayaningsih Ningsih

    27 Oct 17 at 19:49

Leave a Reply